Style Theory, platform penyewaan apparel di Indonesia dan Singapura, mengumumkan pada bulan Desember kemarin pendanaan Seri B sebesar USD 15 juta.
Startup yang bermarkas besar di Jakarta ini menyampaikan jika pendanaan saat itu dipimpin ventura SoftBank, lalu diikuti dengan beberapa kelompok investor lain, di antaranya adalah Alpha JWC Ventura dan Grup Paradise.
Ini bukanlah kali pertama SoftBank dan Alpha JWV menyuntikkan pendanaannya untuk startup ini. Sebelumnya, kedua modal ventura ini juga sudah berpartisipasi pada pendanaan Style Theory seri A.
“Fashion sudah jadi salah satu garda depan dalam tren sharing economy. Dan dengan bisnis model yang menarik, Style Theory berhasil membuktikan jika perusahaan bisa mengubah gaya konsumsi berpakaian masyarakat Asia Tenggara. Saya tertarik untuk mendukung ekspansi Style Theory melintasi wilayah serta melanjutkan perubahannya,” terang Sean Lee, partner senior Softbank Ventures Asia, dalam rilis resmi seperti dikutip dari Tech Crunch, Minggu (01/03/2020).
Lahir dari Keinginan untuk Melawan Industri Fast Fashion
Didirikan tahun 2016 oleh Rane Lim dan Chris Halim, Style Theory hadir untuk melawan sampah-sampah fesyen akibat berkembangnya industri fast fashion di Indonesia.
Melansir dari KataData, yang dimaksud dengan industri fast fashion adalah konsep industri yang berlandaskan pada produksi pakaian siap pakai dengan harga terjangkau. Tren ini berkembang cepat seiring dengan perubahan gaya hidup konsumen.
Contoh dari merk fast fashion adalah Stradivariusi, Uniqlo, Zara, Erigo, dan H&M. Sampai saat ini, merk-merk apparel tersebut masih memproduksi pakaian berlandaskan konsep fast fashion; murah, produk cepat, dengan tren yang terus diperbarui.
Diketahui, nilai industri fast fashion secara global mencapai USD35 miliar. Nilai tersebut setara dengan Rp495,1 miliar. Dan angka ini terus meningkat semenjak beberapa tahun lalu.
Di samping geliat pertumbuhan konsumsi dan ekonomi yang bisa kita lihat dari industri ini, muncul pula masalah-masalah baru; seperti sosial, lingkungan, dan ekonomi.
Dari segi sosial, industri ini banyak dikecam karena diketahui mengeksploitasi pekerja di bawah umur dengan bayaran yang tak sesuai upah minimum. Sedangkan dari sisi ekonomi, ada potensi kerugian akibat pakaian yang jarang dipakai dan tak didaur ulang. Jumlahya sekira USD500 miliar per tahun.
Tetap Fashionable dengan Budget Terbatas dan Tanpa Merusak Lingkungan
Berbekal kondisi-kondisi di atas, Raena Lim dan Chris Halim pun mendirikan Style Theory. Saat ini, startup penyewaan apparel ini sudah memiliki lebih dari 50.000 pakaian dan 2.000 jenis desainer di inventorinya.
Dan untuk menambah layanan dari aplikasi, perusahaan juga membuka toko offline yang terletak di Orchard Road, Singapura.
Rata-rata, pelanggan menyewa sampai 20 potong pakaian dari dua merk desain per bulan. Dan sampai sekarang, perusahaan sudah melayani lebih dari satu juta item sejak peluncurannya.
Dalam sebuah interview online antara co-founders dengan wartawan Tech Crunch, disebutkan jika pendanaan Seri B ini nantinya akan dipakai untuk mengembangkan teknologi dari platform.
Bahkan, ada rencana untuk menggunakan algoritma Machine-Learning agar bisa membuat rekomendasi pakaian yang sesuai bagi pengguna berdasarkan apa yang mereka cari secara online.
Di samping itu, startup Indonesia ini juga menyampaikan keinginannya untuk membangun sistem manajemen gudang dan jaringan distribusi yang menggunakan kurir pribadi; sehingga bisa meminimalisir ongkos produksi.
Memang, ini bukanlah model bisnis terbaru yang bisa kita temui saat ini. Sebelumnya, sudah ada Rent the Runway dan Le Tote, aplikasi dengan layanan penyewaan apparel dari Amerika Serikat.
Hanya saja, model operasional Style Theory sedikit berbeda dan memang ditujukan untuk melayani pasar Asia Tenggara. Lalu, bagaimana kira-kira perkembangan dari startup asal Indonesia ini ke depannya? Selalu update informasi startup terkini di Droila aja, ya.